Jiwa Kewirausahaan Baru: Dari Individual ke Kolektif

Oleh Bob Widyahartono MA *)

Jakarta (ANTARA News) - Dalam era penuh perubahan, seperti dewasa ini, senantiasa memerlukan pemahaman kembali jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Bagi yang memiliki jiwa ingin selalu lebih baik dan lebih produktif. Lalu, serangkaian langkah apa saja yang perlu dilakoni oleh pimpinan dan manajemen menengah untuk membangun jiwa kewirausahaan dewasa ini dan ke masa depan pastilah merupakan tantangan tersendiri, apalagi dalam lingkungan yang terus mengalami perubahan.

Padahal, bukannya "apa" jiwa kewirausahaan dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, tetapi "maukah" melalui diskusi kelompok jiwa kewirausahaan baru disambut dengan sikap positif dengan pengorbanan investasi dalam waktu, daya dan dana?

Perubahan ke arah itu merupakan fenomena yang menarik, sekalipun terdapat situasi di mana di satu pihak, yang kuno atau terhitung lama, tidak bersedia berubah. Di pihak lain, setiap pelaku bisnis lebih merasa terhormat kalau oknum-oknum birokrat makin sadar dengan belajar membersihkan diri dalam budaya pelayanan dengan berjiwa dan beretika better, faster and cheaper (lebih bermutu, lebih cepat dan lebih murah) yang membutuhkan pelayanan, dan di pihak pebisnis mematuhi peraturan. Itulah jiwa kewirausahaan juga.

Dalam kegiatan operasional sehari-hari, manajemen organisasi makin dituntut kemauan menggelindingkan intrapreneurship. Istilah intra-preneurship dalam hal ini artinya melalui serangkaian diskusi lintas fungsional, termasuk pengujian/percobaan, guna menciptakan budaya keunggulan (culture of excellence) dalam proses perubahan.

Sikap pandangnya bagi setiap anggota organisasi berarti membuat terjadinya kegiatan inovatif yang sama bermutunya dengan yang dari luar organisasi. Mendayagunakan intraprneurship dalam tubuh organisasinya berarti memotivasi "budaya produktivitas" dengan ketegasan ketepatan waktu (timing) dalam berstrategi memperbarui diri.

Selama ini yang banyak di ketahui dari kunci keberhasilan kewirausahaan tradisional terletak pada kekayaan dan menghargai diri (self appreciation)< yang didapat dari memotivasi diri. Secara tradisional motivasi untuk berprestasi dalam organisasi demikian itu sifatnya individual dan banyak kali tergantung pada "selera" berimajinasi ke inisiator. Dari inisiator mencari mudahnya, yakni menjadi imitator untuk dan bergerak maju melakukan inovasi, sekalipun terdapat risiko yang membuatnya ragu (ambigu) atau justru nekad.

Telah banyak teruji bahwa kewirausahaan kolektif justru memberi kontribusi sebagai terfokus pada pertumbuhan perusahaan. Memang proses pewujudannya tidak semudah apa yang dibayangkan, apalagi kalau yang menjadi anggota kolektifnya mudah terjebak dalam rasa takut gagal, rasa was was dicemoohkan oleh yang berada di luar kelompok. Belum lagi, bila dihambat dalam proses pewujudannya oleh oknum birokrasi dan dunia bank yang belum pernah mengalami pahit getirnya menjadi wirausaha.

Oknum-oknum demikian, baik di pusat sampai ke daerah, memang selalu terlihat berpola pikir sejak awal menjadi birokrat, sekalipun tidak terucapkan, dan sifat iri/curiga adalah "membekukan atau mematikan jiwa imajinasi dan inovasi/kreativitas manusia anggota masyarakat dalam kerja tim".

Ada beberapa faktor dinamisator yang memotivasi sukses dalam proses suatu perusahaan. Pertama, filosofi dan budaya perusahaan yang riil. Kedua, "market niche" (relung pasar) yang disepakati bersama oleh kelompok inisiator. Ketiga, kualitas barang/jasa yang unggul dan membedakan dari pesaing. Keempat, inovasi yang berproses, dan keterikatan pada fokus dengan dukungan modal yang memadai.

Sinergi tersebut perlu dijaga kesinambungannya. Sejarah menunjukkan proses demikian, seperti Sony Electronics, industri mobil Toyota, Honda, dan industri perangkat lunak komputer Microsoft, yang awalnya merupakan inisiatif perorangan dengan skala operasi kecil, tidak dikenal oleh lingkungannya. Demikian pula sejarah perusahaan di negeri ini, seperti Gudang Garam, dan Kacang Garuda, yang dalam prosesnya tidak "dianggap" oleh lingkungan kecilnya, namun dan tumbuh menjadi kelas menengah, kemudian membesar melalui proses.

Kewirausahaan kolektif merupakan kombinasi dari berbagai sifat dan perilaku manusia, antara lain talenta, energi, komitmen berinovasi sebagai suatu tim. Dalam kewirausahaan kolektif, maka potensi dan keahlian, serta sifat dapat diandalkan (skill and credibility) individual secara mudah dapat diintegrasikan dalam suatu kelompok yang saling mencerahkan.

Melalui kelompok semacam itu, maka selanjutnya diberdayakanlah karyawan dengan mengandalkan "manajemen menengah". Bagi kelompok dan manajemen menengah yang diberdayakan, artinya harus tersedianya investasi dalam pemikiran berinovasi, sumber dana yang dibutuhkan dan waktu, termasuk menghargai waktu (timing) tanpa kebiasaan mengulur-ulur waktu.

Kebersamaan menciptakan nilai yang seimbang dalam arti co-creation of value dalam pasar yang dijadikan relungnya. Lalu bagaimana dalam "bisnis keluarga", di mana generasi pertamanya berdaya tahan melalui keuletan, dalam arti kreativitas hanya menjadi "resep"-nya kepala keluarga dan beberapa anggota keluarga atau kawan akrabnya yang seusia dengan kendali keuangan perusahaan.

Jiwa kewirausahaan yang demikian itu perlu tumbuh, dan tidak hanya perlu dimiliki oleh masyarakat, tetapi juga oleh sumber daya manusia pemerintahan sebagai pelayan masyarakat yang disebut entrepreneurial government yang berbudaya inovatif/kreatif dan kompetitif untuk selalu better, faster and cheaper dalam melayani masyarakat sesuai dengan misi pertanggunganjawab sosial (social responsibility ).

Wanti-wantinya, "kalau bersikap pandang di mana pun tidak mau mulai dengan membuka diri untuk berjiwa kewirausahaan dalam kebersamaan, maka pasti akan mengalami kegagalan".(*)

*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi Bisnis Asia, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.
www.antara.co.id